NIKAH ITU: “Melangkah Bersama dalam Kesederhanaan”
NIKAH ITU: “Melangkah Bersama dalam Kesederhanaan”
oleh: Elly Maghfiroh email: ellyelma311@gmail.com
Menjadi seorang putri dengan mahkota megah nan elegan sekali seumur hidup adalah idaman setiap wanita. Acara pernikahan yang dikemas bak acara peresmian sang Ratu Inggris Elisabeth dengan panjangnya karpet merah yang terbentang menuju istana, juga diidamkan setiap pengantin dalam pelaksanaan resepsinya.
Tapi berbeda denganku, bagiku pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral dan agung. Dimana di dalamnya harus diatur sedemikian mungkin sesuai dengan agama yang kita pegang dalam hal ini tentunya Islam. Pernikahan adalah kesederhanaan yang memberikan manfaat lebih banyak kepada masyarakat sekitar karena walimatul urs adalah bentuk kesyukuran si empunya hajat, supaya kehidupan pengantin selanjutnya penuh dengan berkah.
Aku adalah gadis kampung yang sudah lama merantau demi cintaku kepada ilmu dan baktiku kepada orang tua. Ditengah perjalananku menjadi abdi ilmu, seorang yang sangat sederhana datang dalam hati dan kehidupanku dan berniat menjadikanku seorang istri. Kala itu aku masih semester empat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan sedang dalam pengerjaan tesis yang aku targetkan selesai pada Mei 2017, sedang dia sedang menjadi guru pengabdian di pondok Ponorogo Jatim. Begitu juga dengannya masa pengabdiannya akan selesai pada bulan Mei 2017 kala itu akan bertepatan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah. Dan kita merencanakan melaksanakan sunah nabi tersebut pada Juli 2017 bertepatan dengan bulan Syawal 1438. Pemilihan bulan Syawal itupun kita dasari dengan sebuah hadits yang menyatakan kesunahan nikah di beberapa bulan, salah satunya Syawal.
Pada 15 ramadhan 1438 tepatnya, kami berdua sam-sama pulang ke kampung halaman untuk mempersiapkan acara pernikahan kita. Lima hari kemudian kedua keluarga kami saling silaturrahim dan mengadakan acara khitbah dengan penuh kesederhanaan. Selanjutnya masa-masa menjelang pernikahan kita lalui dengan segala macam persiapan. Tepatnya 10 syawal 1438 atau 4 Juli 2017 kita adakan ijab kabul dan acara nikah diadakan dengan sangat khitmah dan penuh kesederhanaan, dan yang terpenting bagi kami adalah inti dari pernikahan itu adalah kebahagian dan tertanamnya prinsip-prinsip agama dalam setiap lini kehidupannya.
Islampun menyebut mahar terbaik adalah mahar yang sangat memudahkan bagi si pengantin laki-laki, disini akupun tak pernah meminta mahar apapun kecuali sebuah hafalan ayat al-qur’an yang aku suka. Diapun memberikan lebih untukku dengan menghafalnya dan membacakannya sebelum ijab dengan bacaan qiro’ah yang sungguh meresap ke hati dengan penuh pemaknaan.
Hal ini berbeda dengan kebanyakan masyarakat yang saat acara pernikahannya menginginkan mahar yang berjuta-juta bahkan permintaan yang aneh-aneh. Dan akupun tahu dari banyak masyarakat dan teman-teman sebayaku, banyak dari mereka yang belum menikah karena memikirkan mahar yang harus ia tanggung atau pertanyaan orang tua perempuan yang mensyaratkan mahar bermacam-macam, padahal tak demikian dalam Islam.
Setelah acara ijab dan qabul selesai orang tua kami mengadakan syukuran dengan memberi jamuan terbaik untuk para tamu undangan dan segenap keluarga. Beberapa makanan jamuan pun diusahakan dapat dimakan seenak mungkin oleh undangan supaya tidak ada makanan tersisa dan tercecer, walaupun makanannya penuh dengan kesederhanaan. Dilanjutkan pada malam harinya dengan pengajian walimatul urs sebagai bentuk syiar agama tentang sunahnya pernikahan dan upaya pengenalan kepada masyarakat bahwa kita berdua sudah menikah secara resmi agama dan negara.
Pernikahan identik juga dengan panggung pernikahan yang megah dengan harga berjuta-juta, dalam hal ini tidak kami gunakan walaupun mungkin kami bisa untuk mengusahakan itu, bagi kami panggung yang berjuta-juta itu dapat kita alihkan untuk sedekah dan memberikan makanan kepada tetangga sekitar. Karena inti acara nikah adalah syukuran maka kita memberikan lebih banyak kepada masyarakat dan tetangga. Padahal kebiasaan di lingkungan kita pernikahan di dahului dengan sebar undangan yang disebut “nyumbang pengantin, atau memberi amplop” yang dalam masyarakat terkadang hal ini bukan diniatkan untuk ibadah membantu sesama tapi sekedar balas jasa antar si empunya hajat. Maka dari itu kamipun juga tidak menyebar undangan sama sekali, hanya mengabari beberapa teman. Dan acara nikah kami disaksikan kedua keluarga dan beberapa teman.
Seminggu setelah acara pernikahan kami, kami memutuskan merantau ke Jogja untuk meneruskan kuliahku dan berusaha mencari jalan untuk mendapatkan nafkah halal. Kebetulan seminggu setelah pernikahan adalah jadwal pertama suamiku untuk mengajar di sebuah pesantren di Jogja karena sebelum nikah suamiku belum mempunyai pekerjaan apapun mengingat dia baru saja selesai dari masa pengabdiannya di sebuah pesantren di Ponorogo. Kami pun ke Jogja hanya dengan dua tas ransel dan tanpa tempat tinggal yang kita tuju. Semalam kita menginap di penginapan untuk kemudian mencari kos yang cocok untuk ditinggali. Dan alhamdulillah ada riski yang cukup untuk membayar semua yang kita butuhkan. Dan sejak saat ijab qabul diucapkan suamiku pun telah berjanji untuk tidak meminta uang dari orang tua walupun secara susah payah dia mengusahakan itu. Dengan semua yang dia punya, aku merasa sangat cukup dan bahagia dengan hidup bersamanya. Pernah suatu ketika uang di dompet suami tinggal sepuluh ribu saja, kala itu suamiku mengeluh padaku:
“ Sayang, og belum ada yang beli batik juga ya, kita udah gak punya uang lagi”.
Akupun menjawab: sebentar lagi juga pasti datang pembeli, lewat chat wa ataupun yang lain.”
Alhamdulillah setelah itu tak dihitung dengan itungan jam, ada juga yang memesan batik yang hasil jualan tersebut cukup untuk makan kita. Dan hari-hari selanjutnya kita lalui dengan penuh perjuangan dengan memulai semuanya dari nol. Mulai dari nol bersama-sama melangkah membina keluarga yang insyaallah sesuai ajaran agama. Di hari-hari selanjutnya, Allah SWT, lebih banyak lagi memberikan anugrahnya. Riski yang selalu datang dari arah yang tak kita kira sering sekali kita dapatkan.
Sebagai seorang istri, sementara ini aku belum boleh melakukan pekerjaan di luar rumah, yang mengharuskanku berlama-lama bekerja diluar. Salah satu alasannya, bahwa jika seorang yang sudah menikah jika suami mencari riski sendiri maka riskinya 100 persen, jika suami dan istri yang mencari riski juga 100 persen. Oleh karenanya akupun sangat menaatinya, yang aku butuhkan hanya kebahagiaan dan ketentraman jika bersamanya, dan kebahagiaan itu salah satunya muncul dari ketaatanku.
Kalian pasti bertanya-tanya bagaimana orang tuaku bisa menerima dia sebagai suamiku, padahal dia adalah seorang laki-laki yang belum punya pekerjaan apapun, tempat tinggal dan juga tabungan yang cukup. Satu hal yang dia bawa saat dia melamarku adalah satu ayat al-qur’an yang jadi pegangan hidupnya yaitu surat at talaq ayat 2 dan 3. Ayat itu modal terbesarnya dalam melamar dan menjalani kehidupan kita selanjutnya. Inti dari surat itu adalah bahwa Allah SWT, lah yang akan menjamin semua kebutuhan dan riski manusia, modal keyakinan itulah yang membuat saya semakin yakin dan percaya kepadanya. Begitu juga orang tuaku, mereka tidak mempermasalahkan apapun mengenai status dan penghasilannya. Satu hal yang diyakini orang tuaku adalah bahwa keberaniannya sebagai laki-laki dengan penuh kepercayaan kepada tuhannya, dia berani mengambil langkah untuk mempercayakan anak perempuannya kepadanya.
Aku punya prinsip dalam pernikahanku, bahwa aku berharap perjalanan hidupku bisa merubah maindset para teman-teman dan saudara sekalian yang masih mempertimbangkan untuk menikah karena takut akan membiayangi istri dengan apa, atau jika si perempuan takut tidak makan enak, atau tidak dapat membeli tas, sepatu dan lainnya. Dan berpandanganlah bahwa inti pernikahan bukan dengan kemewahan dan kemegah-megahan, alangkah lebih baiknya biaya untuk itu semua disedekahkan kepada yang lebih membutuhkan atau untuk memberi makan kepada tetangga disaat acara pernikahan.
Dari kisahku itu juga, aku berharap bagi semua teman-teman dan siapa saja yang masih banyak mempertimbangkan pernikahan padahal umur sudah sangat cukup dan keinginan sudah sangat kuat, monggo segera laksankan sunnah tersebut, dengan menyerahkan segalanya kepada Allah SWT, insyaalah segalanya akan terasa lebih mudah dan merasakan keberkahan yang lebih. Di dalam pernikahan pasti ada ujian, cobaan, kesusahan dan kesedihan karena beda pendapat ataupun kesalahfahaman, tetapi dalam pernikahan akan lebih banyak kebahagiaannya.
Comments
Post a Comment