PARADIGMA JIHAD DAN IMPLIKASINYA PADA DUNIA PENDIDIKAN



Paradigma Jihad

Di zaman yang penuh dengan kemajuan teknologi ini. Umat manusia diharapkan untuk lebih maju dalam berfikir guna memahami suatu pemikiran yang ada. Dengan adanya banyak informasi yang mempengaruhi pemikiran para kaum muda, membakar semangat jiwa yang selalu ingin berbuat kebaikan tanpa ada pemikiran yang matang.
Negara yang mayoritas berpenduduk muslim, pada umumnya adalah Negara berkembang atau Negara terbelakang. Mereka masih lemah secara ekonomi dan kurang menguasai ilmu pengetahuan serta sains-teknologi. Oleh karenanya, maka mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya. Beberapa di antara mereka kemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta kepentingan Negara-negara barat.
Mengkritisi tanpa melihat fakta yang benar, mencemooh suatu aliran tanpa  meliaht apa yang sebenarnya terjadi, bahkan, dikarenakan kemajuan teknologi anak muda sangat mudah diracuni oleh virus-virus media yang suka memelintirkan berita. Apakah pantas seorang pemuda yang mengkritisi tanpa melihat fakta yang sebenrnya. Menghukumi tanpa ada bukti-bukti keontetikannya.
Pendidikan diposisikan yang paling pertama dalam perubahan peradaban dunia, bagaimana tidak, semua ilmu yang didapat berasal dari pendidikan. Pendidikan sangat dibutuhkan bagi setiap manusia yang hidup di duni ini. Karena tanpa pendidikan, manusia tak akan mengetahui mana yang benar dan mana yang lebih benar.
Beberapa umat yang berfikiran sempit selalu mengaitkan kata jihad dengan suatu peperangan. Dan yang terjadi adalah gerakan-gerakan radikal. Kata jihad sering kali diartikan berperang untuk membela agama, kata jihad juga sering diartikan sebagai kaum yang radikal bagi sekelompok aliran yang kontra dengan pemikiran yang mereka tawarkan.  Hanya bermodalkan arti kata jihad itu memerangi kemungkaran, tanpa melihat dari sudut pandang yang lain. Sejatiny radikal dalam sebuah agama itu wajib, namun ekspresinya yang mungkin dilarang. Kewajiban untuk berkeyakinan kepada agama wajib, tapi memaksa orang untuk mengikuti agama yang dianut itu dilarang.

Berangkat dari fenomena yang terjadi sekarang, maka makalah ini ingin membahas tentang paradigma jihad dalam surat At-Taubah ayat 122 dan implikasinya pada pendidikan.


D.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian jihad menurut bahasa arab

Didalam buku milik syekh Dzafir al-qasimi menulis. “Tidak diragukan lagi, sesungguhnya kata jihad adalah kata/istilah islami yang khusus digunakan setelah kedatangan islam dan belum dikenal pada masa jahiliah. Perkataan ini tidak terdapat dalam syair-syair jahiliah (Arab Kuno), baik yang lampau maupun yang baru, baik yang semakna maupun yang menyerupainya. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwasannya kata jihad adalah kata yang berhubungan dengan urusan din (agama); datang bersamaan dengan datangnya islam, sebagai mana kata shalat, zakat, dan lain-lainnya yang tidak terdapat dalam perkataan jahiliah. Jadi, hanya dikhususkan untuk peristilahan dalam islam dengan makna/pengertian yang khusus pula , tidak serupa dengan makna kalimat lainnya.
Jika ditela’ah akar katanya dalam bahasa arab, kata jihad berasal dari akar kata jahada-yajhadu/juhdan, yang diartikan sebagai ath-thaqah, al mashaqah, dan mubalaqah, kesungguhan, kekuatan, dan kelapangan. Adapun jihad berkedudukan sebagai masdar  kata benda daripada jahada, yaitu bab fa’ala daripada jahada diatas diartikan sebagai: berusaha menghabiskan segala daya kekuatan, baik berupa perbuatan maupun perkataan.
2.      Ragam Pandangan Tentang Jihad
Pertama, kelompok yang ingin mematikan jihad. Mereka ini ingin mengubur jihad jauh di dalam tanah menghapusnya dari kehidupan umat. Target dan puncak tertinggi prestasi intelektualnya adalah jika umat hanya hidup dalam ritus ibadah dan amal saleh yang sempit. Bagi mereka, itulah sebenarnya jihad akbar; yaitu jihad memerangi nafsu dan setan.
Pemahaman ini dalam rentang waktu yang lama telah menjadi label para tasawuf-apatis, yang sebenarnya ajaran mereka ini hanya mewarisi masa-masa kemunduran islam. Hal ini tentu berbeda dengan para sufi-progresif yang telah berperan besar dalam jihad umat islam, seperti sultan abdul qadir di aljazair, umar al-mukhtar di Libya atau jama’ah tarekat sanusiyah yang terlibat aktif dalam perjuangan bersenjata.
Kelompok yang mengumandangkan perang ke seluruh dunia. Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok ini memahami jihad hanya satu kata, yaitu perang kepada orang non muslim, tanpa membedakan kategorinya. Bagi meraka , tak ada perbedaan antara non muslim yag memerangi umat islam, menghalangi dakwah, dan menggangu nilai-nilai islam dengan yang bersikap damai, mengulurkan tangan persahabatan dan tidak menunjukan permusuhan. Kata kunci dalam jihad adalah kafir.
kelompok moderat ialah kelompok tengah, moderat atau l-ummah al- wasath. Allah memberi mereka petunjuk untuk selalu mengambil  posisi di tengah, dengan dasar ilmu, hikmah dan ketajaman mata hati dalam memahami syariat Allah dan realitas sekaliigus. Mereka menolah kelompok pertama yang jalan pemikirannya menginginkan agar umat dilepaskan dari kekuatannya, agar Al qur’an dijauhkan dari pedang dan agar negeri-negerinya dibiarkan tanpa pelindung. Demikian pula, tidak seperti kelompok kedua yang ekstrim, yang ingin mengobarkan perang meski kepada non muslimyang telah melakukan perjanjian damai, serta dengan kegabah menghunus pedang kepada siapapun.
Kelompok kedua ini meyakini bahwa pemaksaan, belenggu dan rantai adalah cara dakwah agar manusia menuju Allah dan jalan yang benar. Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan kepada non muslim untuk mendengar, menyimak ayat Allah dan petunjuk Rasulullah serta memahaminya dengan jernih.
Jika cara ini benar, maka benar dalam konteks masa lalu, saat kisra, kaisar dan pemimpin dzalim menghalangi rakyatnya untuk belajar dan memahami islam. Ketika itu, akses informasi ditutup, kran dakwah islam disumbat dan hanya bisa dilepas bebas dengan menumbangkan dan menundukkan mereka. Langkah inilah yang ditempuh para sahabat nabi dan pengikutnya.
Sedangkan sekarang, tidak membuthkan lagi. Sebab perangkat modern dengan mudah dapat menyampaikan dakwah islam ke seluruh penjuru dunia, tanpa ada perintah manapun yang mampu menghalanginya. Chanel TV, radio internet dapat menyelinap tanpa izin ke dalam rumah siapapun. Disamping buku, majalah dan selebaran yang ditulis dalam banyak bahas sehingga menjadi sarana dakwah yang efektif. Ini semua merupakan senjata yang mempunyai pengaruh kuat dalam jihad di era modern sekarang. Jadi, yang paling diperlukan saat ini adalah menyapkan pasukan besar yang terdiri dari da’I, guru, ustadz ahli dalam komunikasi, media dan publikasi yang dapat berbicara kepada dunia dalam ragam bahasa sekaligus memahami nalar dan logika zaman yang terus berubah. Sehingga agama islam ini dapat dicerna dengan mudah, dipahami dan diterima dalam alam pikir dan hati manusia.

Allah berfirman pada surat At-Taubah ayat 122 yaitu:
وماكان المؤمنون لينفروا كافة فلول نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذر قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرونز(122)

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang), Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antra mereka bberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk member peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(At-Taubah: 122)
Ada beberapa riwayat tentang penafsiran ayat ini, dan penetapan kelompok yang bertugas untuk memperdalam agama dan nantinya member peringatan kepada kaumnya ketika kembali kepada mereka. Dalam penafsiran ayat ini, tidak sepatutnya semua orang mukmin pergi ke medan perang. Namun untuk kepentingan itu, ada sekelompok tersendiri secara bergiliran antara yang berperang dengan yang tetap berdiam diri yang bertugas memperdalam agama, berpererang, pergi berdakwah, berjihad, menggerakkan hararak akidah agama ini, dan member peringatan orang-orang lain dari kaumnya ketika kembali kepada mereka.
Penafsiran yang diambil mempunyai dasar dari penafsiran Ibnu Abbas r.a. dan dari penafsiran Hasan al-Bashri, pilihan Ibnu Jarir ath-Thabari, serta pendapat Ibnu Katsir, adalah bahwa agama ini adalah “manhaj haraki”, yang tak dapat dipahami kecuali oleh orang yang berharakah dengannya. Oleh karena itu, orang yang keluar untuk berjihad memperjuangkan agama ini adalah orang-orang yang potensial untuk memahaminya, karena ia telah menyikap banyak rahasia dan makna agama ini. Dan juga mendapatkan penglihatan secara langsung atas ayat-ayatnya dan impelementasi praksisnya pada saat ia mengusung harakah agama ini.
Sedangkan orang-orang yang berdiam dalam negeri, mereka itulah yag membutuhkan penjelasan dari orang-orang yang berharakah dengan agama ini. Karena, mereka tidak menyaksikan  apa yang telah disaksikan oleh orang-orang yang berjuang keluar, tak memahami seperti pemahaman mereka, dan tak mencapai rahasia-rahasia agama ini seperti yang dicapai orang-orang yang berharakah. Terutama jika keluarnya bersamanya Rasulullah. Keluar bersama beliau itu secara umum amat mendekatkan orang untuk memahami dan menguasai pengertian agama ini.
Barangkali penafsiran ini berbeda dengan yang diduga secara elementar pertama kali oleh banyak orang bahwa orang-orang yang tak ikut perang, tak berjihad, dan tak berharakah itulah yang menjadi orang-orang yang mengkhususkan dirinya untuk mendalami agamanya. Tapi ini hanya ilusi saja, dan tak sesuai dengan sifat agama ini. Karena harakah adalah pokok agama ini. Sehingga, yang dapat memahaminya hanya orang-orang yang berharakah dangannya, berjuang untuk membumikannya dalam realitas manusia, dan memenangkannya atas kejahiliahan, dengan harakah amaliyah.
Pengalaman mengatakan bahwa orang-orang yang tak terlibat dalam harakah agama ini maka mereka tak mendalami agama ini. Sejauh apapun dia mencurahkan waktu untuk mempelajarinya dari buku-buku dengan pengkajian yang dingin. Sinar-sinar penyingkap dalam agama ini hanya tampak bagi orang-orang yang berharakah dengan harakah jihadiah, untuk membumikannya dalam kehidupan manusia. Sementara, hal itu tak tampak bagi orang-orang yang tenggelam dalam buku-buku dan hanya berinteraksi dengan kertas-kertas.
Pendalaman terhadap agama ini tak terjadi kecuali di tanah harakah. Pemahaman itu tak diambil dari seorang pakar yang hanya duduk saja ketika harakah menjadi kewajiban. Orang-orang yang hanya bercengkerama dengan buku-buku dan kertas pada zaman sekarang ini, untuk menyimpulkan hukum-hukum fiqih “yang memperbaharui” fiqih islam atau “mengembangkannya” seperti yang dikatakan oleh para orientalis –salibis. Tapi jauh dari harakah yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia, mereka itu sebenarnya tak memahami sifat agama ini. Karenanya, tak dapat menyimpulkan fiqih agama ini.
Karena fiqih islam merupakan anak dari harakah islam. Agama ada terlebih dahulu, baru kemudian fiqih. Bukan sebaliknya. Yang diriwayatkan terlebih dahulu adalah beragama kepada Allah semata, dan masyarakat yang berketepatan untuk beragama kepada Allah semata. Kemudian masyarakat rakyat ini mulai menjalankan kehidupan secara nyata sesuai dengan prinsip-prinsip umum syariat, disamping hukum-hukum persial yang datang dalam pokok syariat. Saat ia menjalankan  kehidupan nyata dalam naungan keberagamaanya kepada Allah semata, dan menerima petunjuk dari syariat-Nya semata, untuk mewujudkan keberagamaannya itu secara nyata, maka datanglah baginya masalah-masalah persial dengan berkembangnya kondisi realita dalam kehidupannya. Baru sinilah dimulai penyimpulan hukum-hukum fiiqih, dan timbulah fiqih islam.

Harakah dengan agama inilah yang melahirkan fiqih itu. Harakah dengan agama ini pula yang mewujudkan pertumbuhannya. Sama sekali bukan fiqih hasil penyimpulan dari kertas-kertas yang dingin, yang jauh dari panasnya kehidupan realistis. Oleh karena itu, para fuqaha yang mendalami agama ini, pemahaman mereka itu datang dari harakah mereka dengan agama ini, dan dari harakah mereka bersama kehidupan realistis masyarakat muslim yang hidup dengan agama ini, berjihad dijalannya dan berinteraksi dengan fikih yang baru lahir ini yang disebabkan dinamika kehidupan yang realistis.Sedangkan pada saat ini, “maka apa?” mana masyarakat muslim yang berketetapan untuk hanya beragama kepada Allah semata, yang menolah untuk beragama kepada seseorang dari manusia, dan yang menolak dengan nyata semua aturan hukum yang tidak datang dari sumber syari’at satu-satunya ini?.
Tidak ada seorangpun yang dapat mengklaim bahwa masyarakat muslim ini sudah berdiri dan ada. Karenanya, muslim yang mengetahui islam dan memahami manhaj dan sejarahnya, tidak akan berusaha untuk mengembangkan fiqih islam, atau “memperbaharuinya” atau “mengembangkannya” dalam lingkup masyarakat yang secara mendasar tak mengakui bahwa fiqih inilah satu-satunya aturan hukum yang mengatur kehidupan mereka. Namun, muslim yang serius, pertama mencurahkan usahanya untuk mewujudkan keberagamaan kepada Allah semata, mewujudkan prinsip bahwa tidak ada kekuatan hukum kecuali milik Allah, dan tak ada pengaturan hukum atau undang-undang kecuali jika bersumber dari syari’at-Nya semata, sebagai wujud dari keberagamaan itu.
Merupakan suatu karikatur kosong yang tak sesuai dengan keseriusan agama ini, jika orang –orang menyibukkan dirinya untuk menumbuhkan fiqih islam, atau “memperbaharuinya” atau “mengembangkannya” dalam masyarakat yang tak berinteraksi dengan fiqih ini dan kehidupannya tak berpedoman dengannya. Juga suatu kebodohan yang nyata atas sifat agama ini, jika ia berpendapat bahwa ia dapat memahami agama ini sambil duduk berdiam diri saja, hanya berinteraksi dengan buku-buku dan kertas yang dingin saja, dan menyimpulkan fiqih yang beku. Fiqih tak disimpulkan dari syari’at kecuali dalam perjalanan kehidupan yang memancar, dan bersama harakah dengan agama ini dalam kehidupan nyata.
Keberagamaan kepada Allah sematalah yang melahirkan masyarakat muslim, dan masyarakat muslim itulah yang melahirkan “fiqih islam”. Tertibnya harus seperti ini. Harus ada terlebih dahulu masyarakat muslim yang timbul dari keberagamaan kepada Allah semata. Yang bertekad untuk mengaplikasikannya syariat-Nya semata. Setelah itu lahirlah fiqih islam yang menjadi penjelas bagi masyarakat yang lahir ini, bukunya “sudah siap”  dan tercetak sebelumnya. Karena semua hukum fiqih pada dasarnya adalah pengaplikasian syariat general bagi kasus realistis, yang mempunyai bobot tertentu, bentuk tertentu, dan kondisi tertentu.
Kondisi-kondisi ini dibentuk oleh dinamika kehidupan, dalam kerangka islam, bukannya jauh darinya. Karenanya, fiqih itu menjadi “penjelas detail” syari’at general islam atas aturan langsung kepada setiap kasus di atas “bangunannya” sedangkan hukum-hukum “yang sudah siap” di dalam kitab-kitab fiqih, telah menjelaskan secara detail” sebelumnya tentang kondisi-kondisi tertentu pada saat berlangsungnya kehidupan islam di atas dasar penghukuman syari’at islami secara nyata. Pada saat itu ia tak lagi “belum siap” dan dingin. Tapi, saat itu ia bersifat hidup dan penuh dinamika. Karena itu, kita saat ini harus “membuat penjelasan detail” seperti itu bagi kondisi dan kasus-kasus baru. Namun, sebelum itu harus ada masyarakat yang berketetapan untuk tak beragama kecuali kepada Allah semata dalam syari’at-syari’at-Nya, dan tak member aturan hukum kecuali dari syari’at Allah semata, bukan selainnya.
Dalam situasi seperti ini terjadilah usaha yang serius dan produktif, yang sesuai dengan keseriusan agama ini. Disini terjadilah jihad yang membukakan mata hati, dan memungkinkan pendalaman agama secara benar. Sementara jika tidak seperti itu, maka fiqih itu hanya menjadi karikatur yang ditolk oleh sifat agama ini, dan hanya akan menjadi alasan untuk lari dari kewajiban berjihad secara nyata di bawah alasan “pembaruan fiqih islam” atau “pengembangannya”. Satu pelarian yang seharusnya diakui sebagai kelemahan dan kekurangan, dan meminta ampunan kepada Allah atas keikutsertaan dan berdiam diri bersama orang-orang yang tidak ikut serta berjuang dan hanya berdiam diri.  
Melalui ayat ini Al-Qura’an menetapkan salah satu kaidah besar dari beberapa kaidah masyarakat muslim, yaitu tidak adanya pengakumulasian kekuatan pada satu sector mengabaikan sector yang lainnya. Meskipun jihad secara militer itu penting guna melindungi umat dan agama yang dipeluknya-terutama pada masa nabi, namun tidak perlu untuk mengutamakannya dengan segenap tenaga dan membiarkan sector lain menjadi kosong, seperti sector pengetahuan dan ilmu agama yang sangat dibutuhkan oleh umat supaya amaliyahnya didasarkan oleh pengetahuan agama.
Al-Qur’an mengisyaratkan bahwasannya berusaha dalam mencari ilmu agama dikategorikan sebagai bentuk jihad. Karena itu Al-Qur’an menyebutkan surat At-Taubah ayat 22 tersebut. Penggunaan kata “nafara” (pergi) yang biasa dipakai dalam jihad menunjukkan bahwa pergi mencari ilmu dan memperdalam ilmu agama termasuk salah satu bentuk jihad. Dalam hal ini sebuah hadis nbai menyebutkan,”Barangsiapa yang pergi dalam rangka menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia kembali.

3.      Tafsir mufrodat
 Nafara : Berangkat perang
Laula         : Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melkukan sesuatu yang disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila hal itu terjadi di masa yang akan datang, tapi laula juga berarti kecaman atas meninggalkan  perbuatan yang disebutkan sesudah kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa juga laula, itu bererti perintah mengajarknnya.

Al-Fiqrah: Kelompok besar
Ath-tha’ifah: kelompok kecil
Tafaqqaha: berusaha keras untuk mendalami dan memahami suatu perkara dengan susah payah untuk memperolehnya.
Andzarahu: Menakut-nakuti dia.
Hadzirahu : Berhati-hati terhadapnya.

4.      Pengertian secara ijmal

Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan, yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti, dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada imam dan menegakkan sendi-sendi islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak disayariatkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan dipermasalahkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.
Menurut riwayat al-kalabi dari ibnu  Abbas bahwa dia mengatakan, “setelah Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai rasul dalam peperangan, maka tidak seorangpun di antara kami yang tinggal untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan  perang buat selama-lamanya. Hal itu benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggallha rasulullah saw, sendirian maka turunlah wahyu: 
وماكان المؤمنون لينفروا كافة
Tidaklah patut bagi orang-orang mu’min, juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardhu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardhu ain yang wajib setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila rasul sendiri keluar dan mengerahkan kaum mu’min menuju medan perang. 
فلولانفر من كل فرقة طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون
Mengapa tidak segolngan saja, atau sekelompok kecil saja yang berangkat ke medan tempur dari tiap-tiap golongan besar kaum mu’minin, seperti penduduk suatu negeri atau suatu suku, dengan maksud supaya orang-orang mu’min selurhnya dapat mendalami agama mereka. Yaitu, dengan cara orang yang tidak berangkat dan tinggal di kota (madinah) , berusaha keras untuk meahami agama, yang wahyu-Nya turun kepada Rasulullah SAW. Hari demi hari, berupa ayat-ayat, maupun yang berupa hadits-hadits dari beliau SAW. Yang menerangkan ayat-ayat tersebut, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dengan demikian, maka diketahuilah hukum beserta hikmahnya, dan menjadi jelas hal yang masih mujmal dengan adanya perbuatan Nabi tersebut. Di samping itu orang yang mendalami agama member peringatan kepada kaumnya yang pergi perang menghadapi musuh, apabila mereka telah kembali ke dalam kota.
Artinya, agar tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbig kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui dengan harapan supaya mereka takut kepada Allah dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, disamping agar seluruh kaum mu’minin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan dakwahnya dan membelanya, serta menerangkan rahasia-rahasianya kepada seluruh umat manusia. Jadi bukan bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan dan kedudukan yang tinggi serta mengungguli kebanykan orang-orang lain, atau bertujuan memperolah harta dan meniru orang zalim serta penindas dalam berpakaian, berkendaraan maupun dalam  persaingan di antara sesama mereka.
Ayat tersebut merupakan isyarat tentnag wajibnya pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya di tempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang-orang lain kepada agama, sehingga mereka tak boleh lagi tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib di ketahui oleh setiap mu’min.
Orang-orang yang beruntung, dirinya memperoleh kesempatan untuk mendalami agama dengan maksud seperti ini. Mereka mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, dan tidak kalah tingginya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggkatkan kalimat Allah, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan , mereka boleh jadi lebih utama dari para pejuang pada selain situasi ketika mempertaruhkkan agama menjadi wajib ‘ain bagi setiap orang.
5.      Asbabun Nuzul At-Taubah: 122
Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka di daerah badui atau pedalaman. Karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya “sungguh ada orang-orang yang tertinggal didaerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu “ kemudian turunlah firman_Nya yang menyatakan tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukim itu pergi semuanya”(Ke medan perang).
Ibnu abu Hatim telah mengetengahkan pula hadits lainnya melalui Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila rasulullah SAW mengirimkan syariahnya, maka mereka meninggalkan nabi. Di madinah bersama dengan orang-orang yang lemah.
Ayat ini merupakan penjelasan dari Allah SWT bagi golongan penduduk arab yang hendak berangkat bersama Rasulullah SAW ke perang Tabuk. Ada segolongan ulama salaf yang berpendapat bahwa setiap muslim wajib berangkat untuk berperang, apabila Rasulullah pun berangkat. Oleh kara itu Allah SWT berfirman,”Maka pergilah kamu semua dengan ringan maupun berat.”
6.      Implikasinya dalam dunia pendidikan
Pemahaman yang kuat terhadap arti jihad sangat dibutuhkan untuk para peserta didik, dikhususkan para pemuda yang sedang berkobar semangatnya dalam  menegakkan klaimat la illa ha illaah. Agar tidak sampai terjadi pemahaman jihad yang hanya diartikan perang saja.
 Memerangi yang tidak sejalur dengannya, memerangi yang berseberangan dengan pemikiriannya, memerangi yang tidak sependapat dengannya, berpendapat bahwasannya pemikiran yang paling benar adalah golongannya. Tanpa ada rasa toleransi dan tanpa pengartikan arti hidup dalam bermuamalah ma’annas.
Seperti yang sudah dipaparkan oleh penulis diatas, bahwasannya perang yang sekarang dihadapi adalah perang dalam pemikiran. Memerangi hal-hal yang yang tidak bersyari’at dan tidak berkebangksaan. Meluruskan yang bengkok dan memberikan solusi yang baik kepada masayarakt dalam menghadapi globalisasi dunia. Dengan maraknya bom bunuh diri yang diartikan sebagai jihad, itu adalah salalh satu dari sekian pemahaman yang kurang pas menurut penulis. Karena bunuh disendiri juga sudah menyalahi takdir Allah.
Maka dari sini pemahaman arti jihad dalam surat at taubah ayat 122 sangat dibutuhkan. Untuk memberikan semagat mempelajari agama dan menyebarkannya, agar mereka yang belum mengerti hakikat hidup mendapatkan peringatan yang baik. Bisa mengatasi permasalahan yang ada seperti sekarang ini.

E.     Penutup
Ditela’ah akar katanya dalam bahasa arab, kata jihad berasal dari akar kata jahada-yajhadu/juhdan, yang diartikan sebagai ath-thaqah, al mashaqah, dan mubalaqah, kesungguhan, kekuatan, dan kelapangan. Adapun jihad berkedudukan sebagai masdar  kata benda daripada jahada, yaitu bab fa’ala daripada jahada diatas diartikan sebagai: berusaha menghabiskan segala daya kekuatan, baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Pertama, kelompok yang ingin mematikan jihad. Mereka ini ingin mengubur jihad jauh di dalam tanah menghapusnya dari kehidupan umat. Target dan puncak tertinggi prestasi intelektualnya adalah jika umat hanya hidup dalam ritus ibadah dan amal saleh yang sempit. Bagi mereka, itulah sebenarnya jihad akbar; yaitu jihad memerangi nafsu dan setan.
Kelompok yang mengumandangkan perang ke seluruh dunia. Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok ini memahami jihad hanya satu kata, yaitu perang kepada orang non muslim, tanpa membedakan kategorinya. Bagi meraka , tak ada perbedaan antara non muslim yag memerangi umat islam, menghalangi dakwah, dan menggangu nilai-nilai islam dengan yang bersikap damai, mengulurkan tangan persahabatan dan tidak menunjukan permusuhan. Kata kunci dalam jihad adalah kafir.
kelompok moderat ialah kelompok tengah, moderat atau l-ummah al- wasath. Allah membenci mereka petunjuk untuk selalu mengambil  posisi di tengah, dengan dasar ilmu, hikmah dan ketajaman mata hati dalam memahami syariat Allah dan realitas sekaliigus. Mereka menolah kelompok pertama yang jalan pemikirannya menginginkan agar umat dilepaskan dari kekuatannya, agar Al qur’an dijauhkan dari pedang dan agar negeri-negerinya dibiarkan tanpa pelindung. Demikian pula, tidak seperti kelompok kedua yang ekstrim, yang ingin mengobarkan perang meski kepada non muslimyang telah melakukan perjanjian damai, serta dengan kegabah menghunus pedang kepada siapapun.
Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka di daerah badui atau pedalaman. Karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya “sungguh ada orang-orang yang tertinggal didaerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu “ kemudian turunlah firman_Nya yang menyatakan tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukim itu pergi semuanya”(Ke medan perang).
Seperti yang sudah dipaparkan oleh penulis diatas, bahwasannya perang yang sekarang dihadapi adalah perang dalam pemikiran. Memerangi hal-hal yang yang tidak bersyari’at dan tidak berkebangksaan. Meluruskan yang bengkok dan memberikan solusi yang baik kepada masayarakt dalam menghadapi globalisasi dunia. Dengan maraknya bom bunuh diri yang diartikan sebagai jihad, itu adalah salalh satu dari sekian pemahaman yang kurang pas menurut penulis. Karena bunuh disendiri juga sudah menyalahi takdir Allah.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Musthofa al Maghribi, 1982, Terjemah Tafsir Al-Maghribi, Bandung: Toha Putra
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2011. Ringkasan Fikih Jihad. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Qasyimi,Dzafir, al-jihad wa al-huquq ad-dauliyah al-ammah fi al-  islam.Beirut:darilm li al- malayin,1986,
 Imam Jalaluddin Al-Mahalliy, Imam Jalaludin As-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalalain Terj. Bahrun Abu Bakar ,Bandung:CV Sinar Baru, 1990
Muhammad Nasir ar-Rifa’I, Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2cet. Ke 7 Terjemahan Drs. Syihabuddin ,Jakarta: Gema Insani,2005
Quthub, syayid. Tafsir Fi Zilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani.2000.





Comments

Advertisement

Popular posts from this blog

Contoh Surat Permohonan Untuk Pembuatan Referensi Bank

5 Unsur Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman

Rumah Makan Unik Yogyakarta, “Kampoeng Mataraman” dengan Menu ala Rumahan