PEMIKIRAN MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA PADA DUNIA MODERN


      Biografi Pendidikan Naquib Al-Attas

Profesor Al-Attas adalah pengarang buku islam, Secularism and the philosophy of the Future (1984) yang banyak mendapat sambutan, dan studi-studi yang sungguh-sungguh monumental tentang tasawuf, termasuk The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970) dan A Commentary of The Hujjat Al-Shadiq of Nur Al-Din Al-Raniri (1986). Dia telah berhasil memecahkan teka-teki kuno inskripsi Trengganu dan menemukan manuskrip Melayu tertua: Sebuah terjemahan Melayu abad ke-16 dari ‘Aqa’id Al-Nasafi (1988). Dia adalah pendiri dan direktur Internasional Institute of Islamic Thought and Civilization di Kuala Lumpur, Malaysia.
Pada waktu itu Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan dari Nabi Muhammad SAW.
Ketika berusia 5 tahun, Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di Malaysia, Al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun (1936-1941). Melihat perkembangan yang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Al-Attas dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat lain, al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa difahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyyah.
Ia kembali ke Indonesia ketika Jepang menduduki Malaya untuk belajar ilmu-ilmu keislaman di Madrasah al-Urwatul Wutsqa’, Sukabumi, Jawa Barat (1941-1945). Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan atas, ia memasuki ketentaraan Malaysia dan sempat dikirim untuk belajar di beberapa sekolah militer di Inggirs, termasuk Royal Military Academy, Sandhurst (1952-1955). Pada tahun 1957, ia keluar dari dunia militer dan belajar di Universiti Malaya selama dua tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, Mc. Gill University, Canada (1959-1955). Hingga meraih gelar Master dengan tesis yang berjudul Raniri and The Wujudiyyah of 17th Century Acheh (diterbitkan 1966).
Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and Africian Studies di Universitas London. Di sinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri Al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings, Al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (diterbitkan 1970).
  Konsep Pemikiran Naquib Al-Attas
Salah satu pemikiran terpenting Profesor Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah bahwa masalah umat Islam saat ini adalah masalah ilmu; tepatnya ketiadaan ilmu dan otoritas dalam hal ilmu di kalangan umat Islam. Lebih dari itu, masalah ini adalah sumber dari masalah-masalah lain yang amat banyak dan beragam yang menghadapi kita saat ini. Ilmu disini dipahami dalam artinya yang amat luas, mencakup ilmu-ilmu dasar tentang islam yang harus dimiliki setiap Muslim, ilmu tentang sejarah dan tradisi Islam, maupun ilmu tentang kondisi umat Islam saat ini, dan sebagainya. Kemudian juga pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul seperti “ilmu yang mana atau jenis ilmu apa yang diperlukan umat islam?”, “bagaimana memecahkan masalah ini?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang senada.
Bertentangan dengan filsafat sains modern dalam hal sumber dan metode ilmu, kita memandang bahwa ilmu datang dari Tuhan, dan diperoleh melalui sejumlah saluran: indra yang sehat, laporan yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat, dan intuisi. Arti di belakang ungkapan “indra yang sehat” mengacu kepada persepsi dan pengamatan, yang mencakup lima indra lahiriah, yakni perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat dan pendengar, yang semuanya berfungsi untuk mempersepsi hal-hal particular dalam dunia lahir ini. Terkait dengan panca indra ini adalah ilmu indra batin yang secara batiniah mempersepsi citra-citra indrawi dan maknanya, menyatukan atau memisah-misahkannya, menyimpan hasil-hasil pencerapan itu, dan melakukan inteleksi terhadapnya. Kelima indra batin ini adalah indera umum (common sense), representasi, estimasi, ingatan dan pengingatan kembali, dan imajinasi. Dalam hal ini, yang dipersepsi adalah “rupa” (form) dari objek lahiriah, yaitu representasi realitas lahiriah atau inderawi, bukan realitas itu sendiri.
Jadi yang dipersepsi oleh indra-indra itu bukanlah realitas sesungguhnya dalam dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang meyerupai atau merupakan representasi dari realitas itu, sebagaimana yang tertangkap oleh indra-indra itu. Apa yang disebut realitas lahiriah adalah sesuatu yang terhadapnya pencaindra melakukan kerja abstrak, yang meghasilkan rupa (form)-nya. Demikian juga dalam hubungannya dengan makna, citra akliah (ma’kulat, intelligible) merupakan representasi realitas yang ditanamkan ke dalam diri, karena akal telah menyarikan dan membebaskan (melakukan abstraksi) realitas itu dari aksiden-aksiden yang melekat padanya yang bukan merupakan hakikatnya seperti kuantitas, kualitas, ruang, dan porsi. Peradaban antara rupa dan makna objek-objek indrawi adalah bahwa “rupa” merupakan apa yang pertama kali dipersepsi oleh indra lahir dan kemudian oleh indra batin dari objek indrawi tanpa terlebih dahulu diperespsi indra lahir.
Mengenai akal yang sehat (sound reason), tidak memaksudkannya dalam artinya yang hanya terbatas pada unsur-unsur indrawi; atau pada fakultas mental yang secara logis mensistematisasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman inderawi; atau yang mengubah data pengalaman indrawi menjadi suatu citra akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses abstraksi; atau yang melaksanakan kerja abstraksi fakta-fakta dan data inderawi seta hubungan keduanya, dan mengaturnya dalam suatu aturan yang menghasilkan hukum-hukum, sehingga menjadikan alam tabi’in dapat dipahami. Sesungguhnya, akal memang adalah semua ini, tetapi lebih dari itu, beberapa orang berpendapat bahwa semua ini hanyalah merupakan salah satu aspek akal. Dalam artiannya yang lebih luas dan penuh, akal ini bekerja selaras, bukan bertentangan, dengannya. Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu, yang merupakan tempat terjadinya intuisi.
Otoritas. Mengenai laporan yang benar sebagai jalan diperolehnya ilmu, ada dua macam: laporan yang disampaikan secara berangkai dan tidak terputus oleh sejumlah orang, dan tidak masuk akal jika mereka dianggp dengan sengaja bermaksud membuat dusta bersama-sama; dan laporan atau pesan yang dibawa Rasulullah. Otoritas jenis pertama yang terbentuk oleh kesepakatan bersama, yang termasuk ke dalamnya sarjana, ilmuan, dan orang yang berilmu pada umumnya dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Tetapi otoritas jenis kedua, yang juga dikukuhkan oleh kesepakatan umum, bersifat mutlak. Otoritas pada akhirnya didasarkan pada pengalaman intuitif dan realitas inderawi, maupun yang terdapat dalam realitas transcendental, seperti intuisi pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi.
Bertentangan dengan pandangan ilmu dan filsafat modern dalam hal sumber dan motode ilmu, kita memandang bahwa otoritas dan intuisi, seperti halnya akal dan pengalaman, juga memiliki tingkat-tingkat. Terlepas dari otoritas orang yang berilmu pada umumnya, tingkat otoritas tertinggi bagi kita adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, termasuk pribadi suci Rasulullah. Keduanya mewakili otoritas tidak hanya dalam pengertian menyampaikan kebenaran, tetapi juga membentuk kebenaran. Keduanya mewakili otoritas yang dibangun di atas tingkat-tingkat kognisi intelektual dan ruhaniah yang lebih tinggi, dan di atas pengalaman transendental yang tidak dapat disempitkan hanya pada tingkat akal dan pengalaman biasa.
Konsep Pemikiran pendidikan Dalam Islam
Menurut Naquib Al-Attas istilah tarbiyan bukanlah istilah yang tepat dan bukan pula istilah yang benar untuk memaksudkan pendidikan dalam pengertian islam. Karena istilah yang dipergunakan mesti membawa gagasan yang benar tentang pendidikan dan segala yang terlibat dalam proses pendidikan, maka wajib bagi kita sekarang untuk menguji istilah secara kritis dan jika perlu mengantikannya dengan pilihan yang lebih tepat dan benar.
Makna pendidikan dan segala yang terlibat di dalamnya merupakan hal yang sangat penting dalam perumusan sistem pendidikan dan implementasinya. Beliau menjelaskan bahwasanya pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. Dalam jawaban ini, suatu proses penanaman mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang disebut sebagai pendidikan secara bertahap. Sesuatu mengacu pada kandungan yang ditanamkan dan diri manusia mengacu pada penerima proses dan kandungan itu.
Jawaban yang diberikan diatas telah meliputi tiga unsur dasar yang membentuk pendidikan : proses, kandungan dan penerima. Tetapi semuanya itu belum lagi suatu definisi, Karena unsur-unsur tersebut masih begitu saja dibiarkan tidak jelas. Lagi pula cara merumuskan kalimat yang dimaksudkan untuk dikembangkan menjdai suatu definisi sebagaimana di atas, memberikan kesan bahwa yang ditonjolkan adalah prosesenya. 
Dari sini beliau masih tetap meliput unsur tiga dasar yang melekat dalam pendidikan seperti sudah disebutkan tadi, namun beliau dalam hal ini lebih mengedepankan unsur kandungan dan bukan proses.  Jadi ada rumusan tertentu yang dipaparkan Muhammad al naquib al attas mengenai pendidikan.

Muhamad naquib al attas memulai rumusan dengan manusia. Definisi manusia telah secara umum diketahui, yakni bahwa ia adalah binatang rasional. Karena rasionalitas adalah  penentu manusia, maka sekurang-kurangnya kita harus memiliki beberapa gagasan tentang apa arti rasional, dan kita semua sepakat bahwa hal itu mengacu pada nalar. Meskipun demikian, dalam sejarah intelektual barat konsep rasio telah mengalami banyak kontroversi dan telah menjadi paling tidak dalam pandangan seseorang muslim problematic, karena secara bertahap ia telah menjadi terpisahkan dari intelek atau intelecus, dalam proses sekularisasi gagasan –gagasan yang timbul sepanjang sejarah pemikiran barat sejak perioda yunani dan romawi kuno.
Pemikir-pemikir muslim tidak menganggap apa yang dipahami sebagai rasio sebagai sesuatu yang terpisah dari apa yang dipahamkan sebagai intellectus. Mereka menganggap  ‘aql (عقل) sebagai suatu kesatuan organic dari rasio maupun intellecus. Dengan pemikiran seperti ini, seeorang muslim mendefinisikan manusia sebagai al-Hayawanun Nathiq (الحيوان الناطق), yang dalam hal ini istilah nathiq berarti rasional. Manusia memiliki  suatu fakultas batin yang merumuskan makna-makna (yaitu dzu-nuthq/ ذو نطق). Dalam permumusan makna-makna yang melibatkan penilaian, pembedaan dan penjelasan inilah yang membentuk rasionalitas.
Istilah-istilah nathiq dan nuthq berasal dari sebuah akar kata yang mempunyai makna dasar pembicaraan, dalam arti pembicaraan maniusia. Sehingga keduanya itu berarti suatu kekuatan dan kapasitas tertentu di dalam diri manusia untuk menyampaikan kata-kata dalam sebuah pola yang bermakna. Karena itu dia adalah suatu binatang berbahasa. Dan penyampaian symbol-simbol linguistic ke dalam suatu pola yang bermakna tidak lain adalah ekpresi lahiriah yang bisa dilihat dan didengar dari hakikat yang lebih dalam, yang tidak terlihat dan yang kita sebut sebagai  ‘aql.
Istilah ‘aql sendiri pada dasarnya bereti sejenis ikatan atau simpul, sehingga dalam hal ini ‘aql berarti suatu sifat-dalam yang mengikat dan menyimpulkan obyek-obyek ilmu dengan menggunakan sarana kata-kata. ‘aql adalah padanan kata qalb (قلب) sebagaimana juga qalb, yang merupakan suatu alat pencerapan pengertian ruhaniah yang disebut hati, adalah padanan kata ‘aql.) sifat yang sebenarny dari ‘aql adalah bahwa ia adalah suatu substansi ruhaniah yang dengannya diri-rasional (an-Nafsun-Nathiqah/ النفس الناطقة) dapat memahami dan membedakan kebenaran dari kepalsuan.
Dari paparan diatas  dapat kita fahami bahwasannya ketika berbicara tentang pendidikan maka akan terhubung dengan hakikat manusia, tidak hanya sekedar jasad saja, namun sampai kedalam ruh, sifat, akhlak, pibadi dan masih banyak lagi yang ada dalam diri manusia. Secara garis besar pendidikan tak kan pernah lepas dengan kehidupan manusia.
Unsur penting yang kedua menurut Muhammad naquib al attas dalam pendidikan adalah kandungannya, yang disini disebut sebagai  sesuatu. Hal ini dilakukan secara sengaja, karena meskipun kita telah tahu bahwa hal itu harus mengacu kepada ilmu, kita masih harus menetapkan apa yang kita maksud dengannya. Pengajaran dan proses mempelajari keterampilan saja- betapapun ilmiyahnya dan bagaimanapun yang diajarkan dan dipelajari tercukupkan dalam konsep umum tentang ilmu tidak harus berarti pendidikan. Pengajaran dan proses belajar sains-sains kemanusiaan, alam dan terapan saja tidak merupakan bagian dari pendidikan dalam arti yang dijelaskan oleh Muhammad naquib al attas. Harus ada sesuatu didalam pendidikan yang jika tidak ditanamkan, tidak akan membuat pengajaran serta proses belajar dan asimilasinya sebagai suatu pendidikan. Kenyataanya, sesuatu yang disinggung disini itu sendiri adalah ilmu; memang, hal itu adalah ilmu tetang tujuan pencariannya. Sampai disini kita dipaksa untuk bertanya: kemudian, apakah yang disebut ilmu? Atau terdiri dari apa sajakah ilmu itu? Pada permulaannya Muhammad naqib al attas mengacu pada kenyataan bahwa, sesuai dengan tradisi islam, kita memahami adanya dua jenis definisi, yakni definisi oleh had dan definisi oleh rasm. Had berarti suatu spesifikasi yang cermat atau ringkas tentang karakteristik khas sesuatu; dan rasm berarti suatu pemberian sifat sesuatu. Perbedaan ini mengungkapkan adanya hal-hal yang bisa didefinisikan secara khas menurut karakteristik-karakteristiknya yang cermat dan seperti halnya pendefinisian manusia dan ada pula hal-hal yang tidak bisa kita definisikan seperti itu, melainkan hanya bisa kita definisikan dengan menguraikan sifat-sifatnya. Ilmu termasuk dalam kategori yang disebut belakang ini.
Banyak konsep kunci dari kosa kata yang pada hakikatnya merupakan inti dari pendidikan dan proses pendidikan sepetrti yang sudah dipaparkan diatas. Menurut Al-Attas ada suatu konsep kunci ilmu yang merupakan pengetahuan tujuan mencarinya. Konsep kunci ini adalah adab (ادب).
Adab adalah disipin tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat). Karena adab menunjukkan pengenalan dan pengakuan akan kondisi kehidupan, kedudukan dan tempat yang tepat lagi layak, serta disiplin dari ketika berpartisipasi aktif dan sukarela dalam menjalankan peranan seseorang sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, pemenuhannya dalam diri seseorang dan masyarakat sebagai keseluruhan mencerminkan kondisi keadilan (‘adl). Keadilan itu sendiri adalah pencerminan kearifan (hikmah), yang telah didefinisikan sebagai ilmu berian Tuhan yang memungkinkan penerima menemukan atau menghasilkan tempat yang tepat dan layak bagi sesuatu. Kondisi berada pada tempat yang tepat itulah yang disebut keadilan; dan adab adalah metode untuk mengetahui, sehingga dengan itu kita memenuhi kondisi berada pada tempat yang dijelaskan di sini, adalah juga pencerminan kearifan. Dalam hubungannya dengan masyarakat, adab adalah tatanan adil yang ada d dalamnya. Adab, didefinisikan secara singkat, adalah ungkapan (masyhad: (مشهد keadilan seperti dicerminkan oleh kearifan.
Dari penjelasan diatas, bisa kita ambil pemaknaan konsep kunci pedidikan dengan istilah adab, bahwasannya tujuan mencari ilmu adalah menimba pengetahuan dengan menanamkan kebikan pada setiap individu pencari ilmu. Dan juga bisa dirangkum bahwasanya tujuan utama pendidikan dalam islam yaitu membentuk atau menghasilkan manusi yang baik. Arti baik disini adalah yang beradab, dengan pengertian kehidupan yang baik meliputi material dan spiritual manusia. Semakin banyak ilmu pengetahuan seharusnya semakin tinggi adabnya.
Relevansinya dalam dunia modern
Seperti fenomena-fenomena yang terjadi di zaman modern ini, Al-Atta memberikan pencerahan bahwasannya pendidikan islam selama ini masih terpengaruh oleh dunia barat dan sekularisme. Banyk pandangan yang hanya mengarah ke suatu kemuajuan teknologi dan sains saja.
Menurut Al-Attas pendidikan islam kemuduran yang terjadi didalam pendidikan islam bukan karena hal ekonomi atau politik, namun umat islam sedang mengalami korupsi ilmu pengetahuan. Konisi inilah yang menyebabkan kemunduran dalam umat islam. Jika ditengok tujuan didalam umat islam ini banyak yang terpengaruh oleh sebuah pekerjaan. Tujuannya bukan untuk meningkatkan adab atau akhlak namun tujuannya dalah kerja.
Harus ditegaskan kembali bahwasannya tujuan mencari ilmu itu adalah untuk menjadi manusia yang baik. Yang elah diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Insan al-kamil.

Comments

Advertisement

Popular posts from this blog

Rumah Makan Unik Yogyakarta, “Kampoeng Mataraman” dengan Menu ala Rumahan

Berkunjung ke JIP Jam'iyatul Ihsan Pakis

Contoh Surat Permohonan Untuk Pembuatan Referensi Bank