EKSISTENSIALISME DAN RELEVANSINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
EKSISTENSIALISME DAN RELEVANSINYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
A.
PEMBAHASAN
1.
Makna Eksistensialisme
Eksistensialisme,
berakar dari kata “eksistensi”, dalam bahasa inggris “existence”, adalah
bentuk kata benda, dengan kata kerja “to exist” yang berarti “the state of
being” ia berasal dari bahasa latin “existo” dan “exister”.
Dalam bahasa prancis “ex” dan “sisto”, yang berarti to stand.
Semuanya dalam bahasa Indonesia berarti secara harfiah, ‘berdiri’, atau
‘menempatkan diri’. Kata “ex” berarti keluar. “to Exist”
disamping pengertian seperti di atas juga harfiah berarti: keluar, ada, hidup,
atau mengada. Akan tetapi dalam Eksistensialisme, artinya lebih kompleks, tidak
cukup “ada”, “mengada” atau “berada”.[4]
Eksistensialisme
adalah label khusus yang hanya dikenakan kepada manusia. Dengan keluar dari
diri, manusia menemukan dirinya. Dia bukan obyek, dan bukan sekedar ada dan
mengada, dia selalu keluar, muncul dari tidak sadar menjadi sadar. Muncul dari
non “aku” menjadi “aku”. “Aku” yang sadar selalu menampilkan intensionalitas
sebagai subyek yang mengarahkan kepada objek. Dia sebagai subjek yang berada di
tengah-tengah dunia, dan beradanya di sana selalu terbuka dan selalu
berhubungan, hal ini dimungkinkan sebab dia sudah menunjukkan subyek yang
membadan. Dengan kebebasan yang dimilikinya serta kemungkinan untuk memilih
senantiasa terbuka bagi manusia akan berbagai relasi.[5]
Eksistensialisme,
sebagai phenomonologi, menyatakan bahwa filsafat harus didasarkan pada suatu
metode deskripsi, yaitu deskripsi mengenai fenomena itu sendiri (yang secara
spontan) dialami oleh manusia. Dengan demikian filsafat harus melepaskan
rasionalisme a prior dan positivisme, jika keduanya menjadi pembatas-pembatas
subyektif maupun obyektif dari manusia, pembatas yang menentukan mengenai
pengalaman dalam ilmu pengetahuan positif.[6]
Menurut
pengertian ini, Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang terutama memusatkan
pada deskripsi-deskripsi dan kemungkinan-kemungkinan kongkrit dari kehidupan
manusia yang spontan, sepanjang deskripsi itu sesuai dengan syarat-syarat dari
metode phenomenology. Dalam sejarah perkembangannya, ternyata ontologi yang
ditumbuhkan mempunyai versi yang berbeda-beda, namun tetap saja tidak bisa
dilepaskan dari phenomenology. Akan tetapi, pada umumnya mereka tidak suka
dengan tekanan Husserl pada sikap obyektif yang tidak mengacuhkan eksistensi
manusia. Justru bagi mereka, eksistensi manusialah yang pertama-tama dianalisa.[7]
Dari
beberapa pengertian diatas, penulis berpendapat bahwasanya eksistensialisme
adalah suatu aliran filsafat yang mana pusat pemahamanya adalah manusia itu
sendiri, artinya manusia bebas menentukan apa yang dilakukannya walaupun tidak
terlalu memikirkan mana yang benar dan mana yang salah. Sebenarnya bagi manusia
bukan membiarkan mana yang benar dan mana yang salah, namun bagi para
eksistensialis kebenaran adalah relative, artinya benar dilihat dari sudut
pandang masing-masing manusia itu sendri.
2.
Sejarah Kemunculan
Eksistensialisme
merupakan suatu aliran filsafat yang lahir untuk menentang zamannya. Ia lahir
sebagai reaksi terhadap cara berfikir yang telah ada seperti materialisme dan
idealisme, dan barangkali juga kekecewaan terhadap agama (Kristen). Hal ini
terjadi akibat perang dunia, baik yang pertama maupun yang ke dua.[8]
Eksistensialisme
adalah salah satu pendatang baru dalam dunia filsafat. Eksistensialisme hamper
sepenuhnya merupakan produk abad XX. Tidak diragukan lagi bahwa
eksistensialisme memusatkan perhatiannya pada emosi manusia daripada pikiran.
Individualism adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis
tidak mengakui sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam raya ini. Hanya
manusia yang individu yang mempunyai tujuan.[9]
Eksistensi
berakar pada karya Soren Kierkegaard (1813-1855) dan friedrich Nietzche
(1844-1900). Kedua orang ini bereaksi terhadap impersonalisme dan formalism
dari ajaran Kristen dan filsafat spekulatif hegel. Kierkegaard mencoba merevitalisme ajaran Kristen dari dalam
dengan member tempat pada individu dan peran pilihan dan komitmen pribadi. Pada
sisi lain, nietzche menolak kekristenan, menyatakan kematian tuhan dan
memperkenalkan ajarannya tentang superman (manusia super).[10]Hal
94
Eksistensialisme
menentang ajaran materialisme setelah memperhatikan manusia sedalam-dalamnya.
Materialisme mengajarkan manusia pada prinsipnya hanya benda, sebagai akibat dari proses unsur-unsur kimia,
manusia sama saja dengan benda lain, seperti kerbau, pohon dan sebagainya.
Tidak berbeda sama sekali antara keduanya, seklipun ada kelebihan manusia
apabila diperhatikan bentuknya.[11]
3.
Ajaran Filsafat Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme merupalam pemikiran
yang menggema dengan pengaruh yang sangat luas. Meski filsafat ini belum berkembang
secara sistematis sampai sekarang tetapi awal gerakan ini sudah mulai semenjak
awal era abad 19.[12]
Tema
khusus filsafat ini sesungguhnya suatu kritikan tajam terhadap hasil-hasil yang
timpang dari idelaisme jerman, yakni dari idealism Hegel. Dalam filsafa Hegel,
menguraikan bahwa pribadi individu itu
dijabarkan pada suatu fase yang berkembang dalam ide absolute yang demikian
kepenuhan eksistensi pribadi dijadikan ungkapan niscaya dari suatu konsep atau
ide.[13]
Pandangan
ini kemudian ditolak karena ketidaktergantungan dan keunikan pribadi seseorang
itu dapat menang atas kekuasaan mutlak hal universal itu. Kritikan ini terutama
datang dari gerakan positivisme dan materialisme sejarah dari Marx.[14]
Kaum
positiviesme ingin menggantikan filsafat Hegal itu dengan aliran Positivisme.
Aliran ini lebih menekankan aspek faktal pengetahuan khususnya pegetahuan
ilmiah. Dan aliran ini berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan factual pada
suatu landasan dalam sensasi-sensasi. Bagi kelompok positivis, filsafat
spekulatif hegel itu tidak mampu menjelaskan persoalan-persoalan filsafat secra tuntas. Positivism menyatakan
diri sebagai suatu filsafat non-metafisik, yang dibentuk berdasarkan ilmu-ilmu
empiris. Sedangkan paham materialsime sejarah dari Marx ingin mengembalikan
pemikiran Hegel, yang meneknkan bahwa perjalanan sejarah itu berdasarkan sosial
bukan atas kesadaran sosial.[15]
Tatkala
gencarnya gerakan positivism yang melanda para pemikir Eropa dan Amerika,
muncul harapan baru bahwa gerakan ini dapat menggantikan tema persoalan
filsafat yang lama. Tetapi ternyata harapan meleset, filsafat ini tidak
memberikan pemikiran yang kuat guna menggantikan aliran filsafat sebelumnya.
Maka masuklah filsafat eksistensialisme.[16]
Begitu
gerakan eksistensialisme muncul, sentral pemikiran beralih menekankan hakikat
individu sejati. Penekanan ini sebagai reaksi atas prilaku masyarakat modern
yang sudah menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Gerakan ini ingin
menyelamatkan perilaku masyarakat modern yang hanya mengejar materi saja.[17]
Sebelum
muncul ke permukaan aliran ini, para pemikir aliran romantic sudah mulai
merintis tentang eksistensi manusia itu. Tokoh-tokoh romantisme menekankan
eksistensi manusia dalam analisa-analisa konkrit. Schelling menguraikan sial
ini secara terperinci. Ia menempatkan eksistensi manusia itu mengatasi
keniscayaan logis dari uncur – unsur universal. Maka dalam kaitan dengan ini,
titik analissinya adalah masalah kebebasan. Filsuf ini juga menguraikan bahwa kehendak
adalah hal yang dasarlah, yang mendahului akalbudi. Atas urutan ini, schelling berani mengatakan bahwa eksistensi
primodial itu adalah kehendak.[18]
Pemikiran
awal gerakan eksistensialisme ini tidak berhenti pada pemikiran scheling tetapi
juga pada pemikiran Soren Kierkeegaard. Tokoh ini yang membuka tabir gerakan
eksistnsialisme. Diwarnai pemikiran teologi, Kierkegaard menguraikan lebih
dalam persoalan eksistensi manusia. Usaha filsuf ini ternyata memberikan terobosan baru yang
menentukan arah perkembangan eksistensialisme. Ia menguraikan pribadi manusia
sampai pada pemikiran bahwa setiap pribadi itu membawa kepenuhan eksistensi
manusiawinya sendiri. Yang dimaksudkan dengan kepenuhan eksistensi ini terwujud
pada keputusan bebas manusia. Di sinilah letak eksistensi manusia. Di dalam
keputusan bebas, manusia menentukan dirinya kemana ia berlangkah. Kiergaard
mengatakan melalui iman manusia dapat mamantapkan dirinya dalam hadirat Tuhan.[19]
4.
Dua Faham Eksistensialisme
Dalam
pembelaan terhadap kemandirian, kebebasan dan keterbukaan eksistensi manusia,
para eksistensialis berseberangan pandangan dalam hal eksistensi tuhan.
Sebagian menerima eksistensi tuhan dan menganggapnya tidak menjadi penghalang
bagi kebebasan manusia., sementara sebagian yang lain menolaknya karena
menganggapnya sebagai penghalang kebebasan manusia. Pada perkembangannya,
kemudian eksistensialisme berkembang menjadi dua aliran besar yaitu religious
existensialism dan non religious existensialism, atau kadang disebut juga
theistic existensialism dan atheis
existensialism.[20]
Ciri
yang menonjol untuk membedakan keduanya adalah bahwa yang non religious atau
ateistik menolak tuhan demi kebebasan manusia, sedangkan yang religious justru
dengan menerima tuhan manusia mendapatkan kebebasannya. Keduanya sama sama
menekankan pentingnya individualitas dan kebebasan dan sama sama memandang
manusia sebagai realitas terbuka dan tak pernah selesai. Argument eksistensialis
non religious apabila eksistensi tuhan diterima bearti eksistensi manusia
menjaadi semu, karena kebebasannya dibatasi oleh kemahakuasaan Tuhan.
Eksistensialis religious berpendapat, manusia mengatasi temporalitas yang
menjadi cirri eksistensi dengan menjadikan tuhan sebagai sumber kebebasan dan
aktualisasi diri ke masa depannya.[21]
Sebenarnya
eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis dan menjelma
dalam bermacam-macam sistem. Dimana terdapat perbedaan antara yang satu dengan
yang lainnya. Sekalipun demikian system-sistem itu dapat dilegalisir sebagai
filsafat eksistensialisme. Beberapa ciri yang dimiliki bersama diantaranya
adalah:
1. Motif pokok eksistensi yaitu cara
manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian adalah
pada manusia oleh karena itu eksistensialisme bersifat humanistik.
2. Bereksistensi harus diartikan secara
dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, selalu
bergerak untuk berbuat, menjadi hal yang nyata dan merencanakan hal yang pasti.
3. Filsafat eksistensialisme memandang
manusia secara terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai dan masih
harus dibentuk. Pada hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitarnya.
4. Tekanan filsafat eksistensialisme
adalah kepada pengalaman yang kongkret, yakni pengalaman yang eksistensial.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pangkal tolak filsafat
eksistensialisme ialah eksistensi.
5.
Problem Eksistensialisme
Eksistenisalisme adalah suatu pendobrakan yang
radikal terhadap filsafat-filsafat sebelumnya dalam memandang manusia.
Eksistensialisme berpendirian baha pemahaman terhadap diri manusia tidak cukup
hanya dengan toleransi yang realistis maupun dengan perenungan. Oleh karenanya,
diperlukan suatu pendobrakan terhadap masalah yang hakiki itu.[22]
Pendobrakan
itu, antara lain, bahwa mansia adalah sebagai eksistensi yang mendahulukan
essensi. Berbeda dengan dunia dan alam, manusia memiliki kebebasannya,
pilihannya, serta bebas dalam pengambilan keputusan maupun tidaknya. Dan
manusia akan kembali lagi bertanya akan diri sendiri, dan kepada dirinya
sendiri.”Eksistensi adalah titik Archimedes yang baru, tempat manusia
meletakkan dunia dan diri sendiri”. Dari sanalah tema-tema problem dilontarkan
dan dipecahkan jika ingin melihat integrasi manusia yang sejati.[23]
Secara
garis besar terdapat empat tema poko permasalahan dalam eksistensialisme yang
difokuskan pada aspek eksistensi, yaitu :
a.
Situasi
manusia dan dunianya.
b.
Intersubyektivitas
c.
Ontology
d.
Kebebasan
dan pilihan
Situasi
manusia dan dunianya. Karena manusia itu adalah makhluk yang sadar berada dalam
dunia, maka dia tak dapat dilepaskan darinya. Dia harus menemukan dari dalam
situasi, dan berhadapan dengan berbagai kemungkinan atau alternative yang dia
punyai. Bagi jaspers dan hiedegger, situasi itu menentukan pilihan, kemudian
manusia membuat pilihan dari berbagai kemungkinan tersebut. Sebaliknya, menurut
Sartre, situasi itu tidak menentukan pilihanku, pilihanku itulah yang
menentukan stuasi.[24]
Karena
manusia menyadari realitas, yaitu bahwa eksistensi dan dunianya bukan merupakan
sesuatu yang tetap, maka dia selalu mengalami kecemasan, ketakutan, kekuatiran,
keterasingan, kehampaan, keputusasaan. Karenanya manusia di dalam dunia ini
tergantung di antara kepenuhan wujud dan ketiadaan, dia terlempar di dunia dan
harus bertanggung jawab atas nasibnya sendiri, dilain pihak, iya menyadari
keterbatasan yang melekat pada dirinya, serta harapan yang tidak pastidan itu
adalah yang absurd; manusia mengalami kegagalan demi kegagalan, antara
antisipasi yang dia dambakan dengan keinginan dan kehampaan dunia ini.[25]
Intersubyektifitas.
Dalam memecahkan tema-tema tentang intersubyektifitas terdapat penekanan yang
berbeda dikalanyan tokoh Eksistensialisme. Problem tersebut berlaku jika
intersubyektivitas dapat dilihat dalam eksistensi, atau merupakan faktisitas,
yang salah satunya dipahami sebagai hubungan personal antara dua individu: ”I
and you” (Aku dan Engkau). Dan engkau mungkin adalah orang lain atau Tuhan,
atau massa. Lalu bagaimana manusia itu menemui dirinya sebagai ketunggalan? Di
sinilah kegagalan dalam mengada bersama individu yang mewarnai permasalahan
Eksistensialisme.[26]
Dan
jika dipertahankan, maka assumsinya adalah bahwa eksistensi manusia itu pada
hakekatnya bersama dengan orang lain atau pribadi lain. Dengan demikian, maka
bereksistensi secara tuggal tak mungkin dipertegas kecuali berpartisipasi
dengan pribadi-pribadi lainnya. Maka ketunggalan individu diartikan sebagai
solidaritas yang menyangkal hakikat cara wujud manusiawi, dan dengan demikian
ia adalah absurd adanya.[27]
Ontologi
merupakan salah satu cabang kajian yang cukup serius diperhatikan oleh kaum
Eksistensialis. Pernyataan tentang “Ada” itu bukanlah merupakan hal pokok,
karena “Ada” bukanlah merupakan sesuatu yang niscaya, akan tetapi yang lebih
diperhatikan adalah celah-celah eksistensi yang konkrit. Dan, eksistensi
manusia mulai bergerak jika mau menelusuri dan menafsikan makna itu. “Ada”
dalam pengertian Eksistensialisme bukanlah bersifat umum, ia bukanlah “Ada” di
atas segala-galanya, tetapi ia bermakna khusus dalam diri manusia.[28]
“Ada”
dalam eksistensialisme adalah merupakan kata kerja, yaitu “ada” yang sedang
mengada sehari –hari. Seorang pegawai kantor pagi hari bekerja dikantornya,
lalu pada siang hari pulang ke rumahnya, akan tetapi “Ada” itu merupakan pelaksanaan
sendiri. Dengan bertolak dari asumsi bahwa ekssitensialis menerangkan masalah
“Ada”, dengan caranya sendiri-sendiri. Akan tetapi pada dasarnya manusia itulah
yang mempunyai pertanyaan tentang “What is Being”.[29]
Kebebasan
dan pilihan. Masalah kebeasan manusia dalam memilih berbagai
kemungkinan-kemungkinannya, tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawabterhadap
apa yang dia lakukan. Adanya kebebasan dan pilihan itu merupakan fakta sentral
dari eksistensi manusia. Ini terkandung dalam thesis mereka bahwa eksistensi
itu mendahului essensi. Bertolak dari permasalahan tersebut, penganut
Eksistensialisme terlibat dalam berbagai penafsiran yang berbeda-beda. Paling
tidak ada tiga penfsiran;
Pertama,
yang mengatakan bahwa pilihan itu ambiguitas. Semua tindakan seseorang termasuk
pilihan-pilihannya menjadi saksi terhadap pilihan implicit.
Kedua,
berbagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang, pilihan-pilihannya didasarkan
oleh suatu kriteria. Dia menggunakan kriteria dari pilihan-pilihannya; dan
tidak ada dasar yang rasional bagi pilihan-pilihan tersebut.
Ketiga,
tidak ada keterangan “sebab” terhadap tindakan seseorang yang dapat
diberikannya.[30]
6.
Relevansinya dalam dunia pendidikan
Berbicara
tujuan pedidikan di Indonesia, maka tidak bisa lepas dari Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, khususnya
pada bab II pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia manusia yang beriman
dan bertakwa kepada tuhna yang maha esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokrasi serta
bertanggung jawab.[31]
Dari
sudut pandang Undang-Undang Pendidikan Nasional, pendidikan di Indonesia sangat
mementingkan pengembangkan sistim nilai. Bahwa, karakteristik manusia indoneisa
yang cerdas juga harus disertai sifat kepribadian yang mengacu pada aspek
system nilai. Wujud kepribadian atau tingkah laku adalah mengada secara
terus-menerus dalam kehidupan keseharian di manapun dan dalam keadaan
bagaimanapun.[32]
Berbicara masalah kepribadian dan sistem nilai, maka hal ini
berada pada wilayah afektif. Kawasan masalah kepribadian dan sistem nilai, maka
hal ini berada pada wilayah afektif itu sendiri memiliki unsur-unsur: minat,
(interest), sikap (attitude), nilai (value), dan apresiasi (appreciation).[33]
Posisi sikap, minat, sistem nilai, dan apresisi seseorang
terhadap suatu fenomena kognitif sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan
keputusan dalam diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Perilaku
baik atau buruk, kesesuaian dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang
umumnya untuk menggambarkan kepribdian yang utuh: termasuk disiplin,
bertanggung jawab, etos kerja, amanah (dapat dipercaya), pegang janji,
kearifan, dan kemandirin.[34]
Berdasarkan tujuan pendidikan di Indonesia tersebut, maka
relavansi ajaran pokok filsafat eksistensialisme denga tujuan pendidikan di
indoensia adalah terletak pada nilai dasar eksistensiaisme untu membina kawasan
afektif dengan unsur-unsurnya yang pada gilirannya dapat mewujudkan dapat
mewujudkan perilaku, yang mencermikan tergambarnya kepribadian yang utuh. Hal
itu dapat dijelaskan sebagai:
1.
Ajaran
eksistensialisme tentang keberadaan manusia berarti memandang manusia secara
utuh, baik aspek jasmani maupun dataran rohani yang bukan saja aspek pikir,
tapi juga berkessadaran. Hal ini dapat sebagai jalan untuk mengantarkan
pemikiran dan praksis pendidikan untuk menuju terwujudnya kepribadian yang
utuh, yakni sebagai manusia yang tepat dalam menentukan minat, sikap, dan
apresiasi terhadap nilai-nilai, dan norma kehidupan.
2.
Ajaran
eksistensialisme tentang makna bereksistensi bahwa bereksistensi berarti
menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. Hal ini
dapat mendorongan kea rah pemikiran dan praksis pendidikan untuk mengatarkan
anak didik memiliki sikap disiplin, bertanggung jawab, dan beretos kerja. Pada
gilirannya hal itu dapat untuk mewujudkan gambaran manusia yang cerdas,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kepribadian yang mantab.
3.
Ajaran
filsafat eksistensialisme teistis tentang stadium religious bahwa mausia
sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan Tuhan. Hasilnya ialah
perubahan manusia karena imannya. Hal ini dapat mendorong kea rah pemikiran dan
praksis pendidikan guna megngarahkan anak didik memiliki sikap atau kepribadian
amanah (dapat dipercaya), pegang janji, kearifan, dan kemndirian. Pendidikan
ini pada gilirannya dapat mewujudkan gambaran manusia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur dalam arti yang
sebenar-benarnya, maksudnya beriman dan berbudi pekerti luhur yang dilandasi
oleh keikhlasan bukan karena ada udang dibalik batu.[35]
E.
PENUTUP
Setelah mengenal filsafat eksistensialisme serta implikasinya
terhadap dunia pendidikan, dapat kita simpulkan bahwasannya setiap pemikiran
filsafat lahir tidak pernah lepas dari konteks zamannya, demikian pula dengan
eksistnsialisme. Eksistensialisme mengedepankan otonomi manusia dalam
berhadapan dengan perkembangan sains (ilmu pengetahuan) dan teknologi. Secara
epstimologi, ada hal yang sangat unik dari eksistensialisme, bahwasanya manusia
hendaknya menjadi manusia yang autentik, yang jujur dan memutuskan apa yang
baik untuk dirinya namun tetap bertanggungjawab atas keputusannya dengan
rasinalitas dan perasannnya, tidak mencari justifikasi dan legitimasi dri suatu
yang seakan-akan berada di luar dirinya, tetapi sebenarnya adalah kehendak diri
yang dibalut dengan norma sosial dan norma agama.
Eksistensialisme memberikan pencerahan dalam dunia pendidikan,
bahwasannya tidak seharusnya pendidikan itu membelenggu manusia, hal ini sangat
bertentangan dengan fenomena yang sering ada diranah pendidikan, dimana pndidikan
hanyalah sebagai produk kapitalisme industri.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Dagun, save M, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka
cipta,1990.
Drijarkara, Percikan Filsafat, Jakarta: Pembangunan, 1978
Fuad Hasan, Perkenalan dengan Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka
Jaya, 1983
Mahmudah, Telaah
Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia, Insania,
Vol. 14, No. 3, Sep-Des 2009.
Muzairi. Eksistensialisme
Jean Paul Sartre. Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2002.
Poedjawijatna, Pembimging ke Arah Alam Filsafat, Jakarta:
rineka Cipta, 1990
Roswantoro, Gagasan
Manusia Otentik dalam Eksistensialisme religious Muhammad Iqbal, Yogyakarta:Idea Press,
2009.
Rukiyati, Pemikiran
Pendidikan menurut Eksistensialisme, Fondasia, No. 9, Vol. 1, Th. VII, Maret
2009.
[1] Poedjawijatna,
Pembimging ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: rineka Cipta, 1990), hal. 142
[2] Fuad Hasan, Perkenalan
dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 5.
[3] Drijarkara, Percikan
Filsafat, (Jakarta: Pembangunan, 1978), hal. 63.
[4]
Muzairi, Eksistensialisme
Jean Paul Sartre. Pustaka pelajar, Yogyakarta.2002.hal.29
[5] Ibid.,
hal.30
[6] Ibid.,
hal. 31.
[7] Ibid.,
hal. 32
[8] Mahmudah, Telaah
Ajaran dan Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan di Indonesia, Insania,
Vol. 14, No. 3, Sep-Des 2009, 336-447, Hlm. 3.
[9]
Rukiyati, Pemikiran
Pendidikan menurut Eksistensialisme, Fondasia, No. 9, Vol. 1, Th. VII,
Maret 2009. Hlm. 93.
[11]
Drijarkara,
Percikan, hal. 56.
[12] Dagun, save M,
Filsafat Eksistensialisme, Rineka cipta,1990. Jakarta, hlm. 29
[13] Ibid,
hal. 30
[15] Ibid., 30
[16] Ibid., 30.
[17] Ibid.,
31
[19] Ibid.,
31.
[20]
Roswantoro, Gagasan
Manusia Otentik dalam Eksistensialisme religious Muhammad Iqbal, Idea
Press, Yogyakarta, 2009, Hlm. 52.
[22]
Muzairi,
Eksistensialisme Jean Paul Sartre….., hlm. 54
[23]
Ibid.,
54
[24] Ibid.,55
[25] Ibid.,
55
[26] Ibid..
57
[29] Ibid., 60
[30] Ibid.. 63
Comments
Post a Comment